Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Kode Etik Hakim

Menjadi Hakim Digdaya

Pada 2010, Mahkamah Agung memecat setidaknya 110 hakim yang telah dijatuhi sanksi. Secara khusus, setidaknya 33 hakim divonis hukuman berat, 13 hakim ringan, dan 64 hakim ringan. Pelanggaran Kode Etik ditandai dengan pelanggaran berat, termasuk penerapan hukum dagang. Banyak ahli percaya bahwa praktik perdagangan legal telah meningkat bermanfaat karena intelijen yudisial diblokir, yang tidak memungkinkan publik untuk memiliki kontrol langsung atas etos kerja hakim. Namun anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Melalui putusan KMA 144/2007, Mahkamah Agung memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat, mulai dari penerbitan putusan hingga keterbukaan informasi di pengadilan, transparansi anggaran dan biaya pengadilan, hingga bantuan hukum. , prosedur litigasi standar, prosedur untuk mengadukan ketidakpuasan terhadap layanan peradilan. Filsuf Inggris Jeremy Bentham mengatakan bahwa setiap budaya isolasi selalu membangkitkan minat jahat. Selama ada transparansi, selama a

Kasus suap Hakim Syarifuddin, sebuah lingkaran setan yang harus dihentikan

Semua ajaran agama mengatakan bahwa korupsi (termasuk suap dan korupsi) adalah tindakan keji yang tidak pernah bisa dibenarkan. Ada juga hadits dalam Islam yang mengatakan: "Suap dan penerimanya terbakar". Rabu (6 Januari 2011) Hakim BPK Syarifuddin (hakim pailit Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) ditangkap di rumahnya. Ia diduga menerima suap dari PT Skycamping Indonesia, salah satu wali pailit. Juga disita $ 116.128, Singapura $ 245.000, 20.000 yen Jepang, 12.600 rial Kamboja, dan 392 juta rupee. Penangkapan Hakim Serifuddin ditambahkan ke daftar hakim yang ditangkap karena suap. Sebelumnya, Hakim Muhtadi Asonon (Ketua Pengadilan Negeri Tangerng) didakwa menerima suap sebesar $40.000 dari Gayus Tamboona. Hakim Ibrahim (Hakim Pengadilan Tinggi DC) juga menerima suap $300 juta dari pengusaha Drianos Lunguk Citrus melalui pengacaranya Adner Seattle. Kasus suap ini semakin merusak peradilan Indonesia. Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, terutama hakim dan st