Langsung ke konten utama

MA Tolak Kewenangan KY Menghukum Hakim


Pembahasan RUU Reformasi UU No. 22 Tahun 2004 bagi Komisi Yudisial (RUU KY) terus berakselerasi. Faktur untuk KY ini akan segera ditandatangani pada bulan Juni. Beberapa kontribusi diberikan untuk memperkuat RUU ini. Salah satunya dari Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Agung, sebagai pihak "pengawas", tentu akan tertarik dengan undang-undang ini di masa mendatang.
Hakim Agung Abdul Ghani Abdullah yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung untuk membahas RUU KY ini,
Ia mengkritisi esensi RUU tentang kewenangan Komisi Yudisial untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim yang bermasalah. "Ini sebabnya. Tidak ada hubungan struktural antara KY dan pengadilan. Satu-satunya yang dapat menjatuhkan sanksi kepada hakim adalah Mahkamah Agung," katanya, Kamis dalam rapat dewan rancangan K.Yu di gedung l DNR. 19).
Rancangan undang-undang Komisi Yudisial mengatur tentang pemberian wewenang tersebut dalam pasal 20 ayat 1 huruf e) dari kitab undang-undang ”.
Abdul Ghani meminta ketentuan ini dihapus dalam RUU KY. Ia menjelaskan, hakim diangkat oleh Mahkamah Agung untuk tujuan subordinasi struktural. Oleh karena itu, jika di masa depan K.Yu. kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi akan menimbulkan kebingungan. "Koki KY akan mengeluarkan surat pengunduran diri (SK)," ujarnya.
Lebih lanjut Abdul Ghani melanjutkan hingga KY hanya berwenang memberikan rekomendasi atau saran kepada hakim yang melanggar kode etik. Hal ini secara eksplisit diatur oleh UU MA. Jika bagian 20 (1) dari tagihan KY ditahan, Anda mengakui bahwa Anda khawatir tentang konflik hukum.
Tidak hanya dalam undang-undang tentang Mahkamah Agung, pasal lain dari undang-undang tentang Komisi Yudisial juga secara tegas menyatakan bahwa Komisi Yudisial hanya berwenang membuat usul dan rekomendasi. Pasal 22E (1) RUU KY mengatur: " Komisi Yudisial Ketua Mahkamah Agung akan mengajukan usul untuk menjatuhkan sanksi berdasarkan Pasal 22D ".
“Oleh karena itu ada kontradiksi antara pasal-pasal undang-undang ini secara istilah (kontradiksi kalimat, red). Yang satu berpendapat bahwa Komisi Yudisial dapat menjatuhkan sanksi dan yang lainnya berpendapat bahwa Komisi Yudisial hanya berhak membuat usulan atau rekomendasi sanksi. Untuk itu saya minta agar huruf 1 ayat 20 pasal 20 dihapuskan”, jelas mantan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM itu.
Pemerintah tidak berani mengambil sikap atas usul pencabutan pasal 20 huruf (1) RUU KY. Wahiduddin Adams, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hak Asasi Manusia, meminta lebih banyak waktu untuk merenungkan usulan tersebut. Pasalnya, ketentuan pasal 20 (1) piagam tersebut telah disetujui oleh Panitia Ketenagakerjaan RUU KY pada rapat-rapat sebelumnya.
DIKIRIMKAN
Wakil Presiden KY Imam Anshor Saleh secara tidak sengaja menanggapi tawaran tersebut. “Kami sangat senang jika bisa menjatuhkan sanksi langsung kepada hakim yang melanggar kode etik,” ujarnya. Namun, dia mengaku bisa memahami keberatan MA.
Selama ini KY dalam praktiknya hanya diperbolehkan membuat rekomendasi, yang kemudian “dilaksanakan” oleh Mahkamah Agung. Misalnya, jika ada hakim yang melanggar kode etik berupa teguran lisan, KY akan segera merekomendasikannya ke Mahkamah Agung. Jika ancaman sanksinya lebih berat, seperti pemutusan hubungan kerja, KY dan MA akan membentuk majelis hakim kehormatan (MKH).
Setelah persidangan, pengadilan akan mengirimkan keputusan eksekutifnya kepada Ketua Mahkamah Agung. Selama ini, Presiden Mahkamah Agung selalu mendengarkan rekomendasi putusan MK, terutama terkait putusan pemberhentian hakim dengan penghinaan.
Imami mengatakan bahwa jika saya mengandalkan K.Yu. kewenangan Komisi Yudisial untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim akan dihapuskan. Namun, ia menuntut agar RUU KY juga mengatur agar usulan rekomendasi atau sanksi yang direkomendasikan oleh KY atau MKH bersifat mengikat. “Perlu ditegaskan bahwa itu wajib, oleh karena itu MA harus mengikuti rekomendasi yang telah dikeluarkan”, tutupnya.

( Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dd4e31a931db/ma-tolak-ketanganan-ky-mengunjuk-hakim)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Problematika Perlindungan Saksi

Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 Tahun 2006 memberikan kesempatan yang luas bagi perlindungan saksi atau korban, dan salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah hak untuk mengubah identitas diri. Namun, di sisi lain, Pasal 77 Kepresidenan Nomor 23 Tahun 2006 melarang siapa saja yang tidak berhak mengubah data pribadinya. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengakui masih sulitnya mengubah identitas orang yang dilindungi. Dalam hal ini, organisasi memiliki kewenangan untuk mengubah identitas saksi atau pembela. 2006 13 Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai benar mengakui kesulitan yang dihadapi organisasi yang dipimpinnya. Hingga saat ini, belum ada satu orang pun yang diidentifikasi sebagai saksi atau korban. Semendawai berpendapat bahwa tidak ada aturan atau mekanisme untuk mengubah identitas. Ia percaya bahwa saksi atau korban yang selalu berada di bawah ancaman harus memiliki hak untuk mengubah identitas dan tempat tinggal mereka. Pihak yang...

Menggugat Praperadilan Penetapan Status Tersangka

Pada pertengahan 2012, Hakim Suko Harson (Mahkamah Daerah Jakarta Selatan (JPC)) mengadakan perbicaraan awal kes itu untuk menentukan status suspek kes rasuah PT. Chevron Pacific Indonesia. keputusan pembetulan PT. Chevron tidak bernasib baik: keputusan itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan Hakim Suko Harsono didenda kerana berkelakuan tidak profesional. Sekali lagi pada pertengahan 2014, Hakim M. Razzad (PN. Jakarta Selatan), bersama ketua Kumpulan Permata Hijau, tersangka Toto Chandra, mengadakan perbicaraan awal terhadap penetapan status tersangka oleh Administrasi Pajak Umum. . Keputusannya adalah seperti berikut: Mahkamah Agung telah dimansuhkan, dan Hakim M. Razzad telah didakwa oleh Suruhanjaya Perundangan Kehakiman kerana kelakuannya yang tidak profesional. Seterusnya, ini pula kisah trio dalam PN. Di Jakarta Selatan, Hakim Sarpin Rizaldi mengesahkan dakwaan awal Suruhanjaya Rasuah (CPC) untuk menentukan status Buddha Gunawa yang disyaki. Tiga ketetapan sebelum i...