Langsung ke konten utama

Kedudukan KHI dalam tata perundang-undangan Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keragaman suku, budaya, dan agama yang tinggi. Sedangkan mayoritas penduduk negara tersebut beragama Islam. Karena diduduki oleh Belanda dalam sejarah Indonesia selama sekitar 350 tahun, itu juga merupakan koloni Inggris dan Jepang. Dengan demikian, dalam perkembangannya, negara ini mengadopsi dan mulai menerapkan tiga sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat, dan ketiga sistem hukum ini akan menjadi subjek hukum nasional pertama di masa depan. .

Hal ini menjadi bukti ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, hukum yang berlaku di Indonesia sama sekali berbeda, yang sangat bergantung pada hukum para pemukim Belanda. Jika kita melihat sejarah bagaimana negara ini memperoleh kemerdekaannya, jelas bahwa kemerdekaan ini diraih dengan susah payah dan perjuangan yang sangat sulit.
Perkembangan negara Indonesia mulai mengalami perubahan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun, hal ini tercermin dari cara hukum kelangsungan hidup masyarakat yang diterapkan. Dalam konteks Indonesia terjadi kerancuan antara hukum positif dan hukum Islam, khususnya dalam masalah perkawinan, mengingat masih adanya perbedaan jenis sengketa, hal inilah yang terjadi dengan penerapan hukum positif yang bersifat dipaksakan dan sudah tidak nampak. . . sesuai. kondisi masyarakat khususnya umat Islam. KHI didirikan atas inisiatif sendiri. Dengan ditetapkannya KHI (Ringkasan Hukum Islam) sebagai legalitas pelaksanaan syariat Islam, sebagaimana tertuang dalam Inpres no. dalam hukum materiil umat Islam (Ahmed Rafiq, 2001: 120).
Kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional dapat dibedakan dalam empat hal, pertama sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia, kedua karena kemerdekaan, kewenangan dan kewenangannya diakui dalam hukum nasional dan memiliki status perundang-undangan nasional, ketiga. . Ia hadir dalam fungsinya sebagai calon ( calon ) pasal-pasal hukum nasional Indonesia, keempat , sebagai pasal utama dan unsur utama pembentukan hukum nasional (Abdul Halim Barakatullah, 2006: 71).
Dengan munculnya KHI, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam pemikiran tentang hukum Islam di Indonesia. Dengan demikian, terjadi pergeseran paradigma dalam sistem hukum nasional, yang keberadaannya kini sebagian didasarkan pada unsur-unsur yang berasal dari adat-istiadat agama. Hukum syariah pada awalnya termasuk dalam banyak kitab hukum perkara (kitab kuning) sebagian dalam hukum nasional dimana KHI adalah contoh yang sangat terlihat karena sebagian besar materinya berasal dari 36 kitab hukum perkara sekarang ada bentuk lain dari hukum syariah dalam bentuk positif. legal dan dapat ditegakkan di tingkat nasional, meskipun KHI sendiri masih dalam pembahasan karena termasuk dalam Pedoman Presiden (Abdoun Nasser, 2004: 6).
Lahirnya undang-undang ini didasarkan pada pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan tidak lagi memenuhi persyaratan hukum saat ini dan perlu dielaborasi dan diperbaiki. Oleh karena itu, undang-undang ini harus dilihat sebagai hasil dari proses penguasaan konsep-konsep hukum perkawinan di masa lalu dan menunjukkan keinginan yang berbeda untuk membuat undang-undang perkawinan nasional yang memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia saat ini, sekarang dan di masa depan. masa depan. Dengan asumsi bahwa hukum Islam memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal perkawinan selama perjanjian tersebut memenuhi persyaratan hukum dan berlaku untuk umat Islam.
KHI .see
Dengan munculnya Kelompok Syariah Islam, masih banyak yang bertanya bagaimana posisi Kuwait Hotel Investment Initiative saat ini, sebagaimana tertuang dalam Inpres no. 1 tahun 1991 dalam sistem hukum nasional menurut UUD 1945? Apa hubungannya dengan jenis peraturan di negara kita. Karena kata-kata Syariat Islam (KHI) yang telah disambut baik oleh para sarjana Indonesia dan diterbitkan oleh Inpres dan Menteri Agama, maka materi tersebut dikeluarkan dalam bentuk eksternal dan bentuknya menyerupai seperangkat undang-undang. sistem
Kebangkitan kerajaan Islam global terkait erat dengan peradilan agama, yang mengalami perubahan signifikan seiring dengan disahkannya UU No. 7 Tahun 1989 untuk mengisi kekosongan hukum yang obyektif bagi umat Islam yang ingin menyelesaikan kasusnya di pengadilan agama. piring. Dengan munculnya KHI, Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam cara berpikir tentang hukum Islam, termasuk sistem hukum nasional, yang keberadaannya kini sebagian ditopang oleh unsur-unsur adat agama (Abdulghani Abdullah, 2004).
Munculnya Peradilan Agama Sejak tahun 1882 Hakim Pengadilan Agama belum memiliki landasan yang padu dalam memutus suatu perkara. Hal ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa hukum Islam saat ini belum menjadi hukum tertulis dan masih banyak beredar di kitab kuning, sehingga terkadang ketika masalah yang sama diselesaikan, jelas ada perbedaan dalam penyelesaiannya. . Oleh karena itu, pada tahun 1958, hakim pengadilan agama merekomendasikan agar Tiga Belas Kitab Kuning digunakan sebagai alat bukti dalam putusannya. Ketiga belas kitab kuning itu adalah 1, Al-Bagouri, 2, Feth Al-Mu'in, 3, Al-Sirkawijat, Al-Tahrir, 4, Al -Kalyubi/Al-Mahali, 5, Feth Al-Vehhab, 6, Tuhfa , 7, Targhebul Al-Mutghafirin, 8, Hukum Cepat Baca Sayed Bin Yahya 9, Hukum Cepat, Master Sadakah Deshlan, 10, Symsurian dalam Perintah, 11, Bogiyah Pengendali, 12, Fikih Arba'ah , 13, Mughni- Muhtaj (Amrullah Ahmad dkk., 1996: 10-11)
Menelusuri fenomena ini, Bustan Al-Arefin memiliki ide untuk menulis sebuah buku yang merangkum hukum-hukum yang berlaku di pengadilan Syariah, yang dapat digunakan oleh hakim pengadilan agama sebagai pedoman dalam menjalankan fungsinya, yaitu: dianggap sebagai ringkasan hukum Islam. hukum.
Selanjutnya ide taman tersebut diterima dan dibentuk tim pelaksana yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Bersama (JCS). Mengangkat Bustan Al-Arifeen sebagai Kepala Staf dengan anggota tim yang terdiri dari pejabat Mahkamah Agung dan Kementerian Agama, dengan kerja keras dan semangat yang besar, Perpres No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk Menteri Agama. Republik Indonesia, KHI dan terdiri dari tiga buku, Buku I tentang Perkawinan, buku kedua tentang hukum waris dan buku ketiga tentang Perwakafan (Amrullah Ahmad dkk, 1996:12).
UU No. 1 Tahun 1974
Kebijakan hukum yang diterapkan syariat Islam kepada pemeluknya diatur dengan peraturan hukum baru pemerintah no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sedangkan pasal 2 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dibuat perjanjian menurut hukum masing-masing agama. UU Perkawinan lahir dengan anggapan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sudah tidak sesuai lagi dengan kebijakan hukum dan persyaratan hukum yang ada sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Oleh karena itu, undang-undang ini harus dilihat sebagai hasil dari proses adopsi konsep-konsep hukum perkawinan di masa lalu, yang merupakan perwujudan dari keinginan yang berbeda dan penciptaan undang-undang perkawinan yang bersifat nasional dan sesuai dengan kebutuhan hukum perkawinan. . . . Rakyat Indonesia hari ini dan esok (Abdur-Rahman, 1988: 8).
Sebelum tahun 1973, pemerintah Republik Demokratik Kongo memperkenalkan dua undang-undang tentang perkawinan, yaitu, pada bulan Mei 1971, Undang-undang tentang Muslim, yang terutama berurusan dengan Departemen Agama, dan Undang-Undang tentang Perkawinan, yang bersifat nasional dan berdasarkan undang-undang. dalam Pancasila. UU baru ini akan menjadi hukum utama, sedangkan UU Perkawinan Islam akan menjadi hukum pelaksana. Kedua konsep tersebut didasarkan pada pemikiran asli Indonesia, yang menghargai perbedaan hukum perkawinan sesuai dengan keragaman masyarakat Indonesia (Muhammad Kamal Hassan, 1987: 190-191).
Menurut Leaf, kata-kata dari kedua RUU itu didasarkan pada perspektif yang berbeda, yang menyebabkan kata-kata yang berbeda dari masalah tersebut. Perbedaan ini lebih merupakan perbedaan sikap dan pendapat pemerintah antara Kementerian Agama dan Kementerian Kehakiman. Akibatnya, anggota dewan tidak mau membahas RUU itu lebih jauh dan pembahasan akhirnya terhenti sampai pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat untuk pemilihan umum 1971 (Mr. Abdoun Nasir, 2004: 139).
Mengomentari penerbitan undang-undang no. 1 Tahun 1974, Hazran menjelaskan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 muncul sebagai akibat dari upaya untuk menemukan hukum nasional yang berlaku untuk semua warga negara. Sebagai hasil dari peraturan perundang-undangan yang pertama, selain menghormati falsafah “Bhineka Tunggal Ika” yang terkandung dalam lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberikan gambaran yang benar tentang kebenaran mendasar dari landasan psikologis dan budaya “Bhineka”. . . Tunggal Ika” Pancasila dan UUD 1945. Ini juga merupakan persatuan dalam menghormati sepenuhnya di mana ada perbedaan berdasarkan agama dan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, majelis harus menyediakan segala sesuatu yang diatur undang-undang dalam hal agama dan kepercayaan, karena di sini Negara berhak mengatur dirinya sendiri sesuai dengan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.
Antara KHI dan UU no. 1 tahun 1974
Persetujuan UU no. Perkawinan 1 tahun 1974 membawa nuansa baru pemikiran hukum Indonesia yang tidak dibahas dalam buku-buku kasus, atau dalam beberapa kasus tidak memiliki penegasan yang jelas. Kemudian, pada tahun 1991, didirikan Kelompok Syariah Islam yang diakui sebagai dasar hukum yang kuat dan mandiri bagi keberadaan lembaga peradilan agama.
Ada banyak kandungan hukum perkawinan dengan tubuh hukum Islam yang bisa dibandingkan, antara lain:
1.   Tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 UUP menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Pasal 2 dan 3 KHI menjelaskan: Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat untuk mentaati dan melaksanakan perintah Allah dan untuk beribadah serta menciptakan ketentraman, cinta kasih dan kenyamanan bagi keluarga.
dua.   Sejauh mana suatu perkawinan sah atau tidak sah menurut hukum agama dan harus dicatat oleh pencatat.
Pasal 2 UUP mengatur bahwa: (i) perkawinan adalah sah menurut hukum agama atau kepercayaan apa pun, (ii) setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4, 5, 6 dan 7 UU Perkawinan Islam menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dirayakan menurut hukum Islam, menurut pasal 2 (1) UU Perkawinan no. 1 tahun 1974.
3.   Asas perkawinan adalah monogami dan poligami hanya dapat dibenarkan jika dilakukan dengan izin istri dan pengadilan. Seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami. (2) Pengadilan dapat mengizinkan suami beristri lebih dari satu jika diinginkan oleh para pihak.
Pasal 55 KHI menyatakan bahwa (1) beristri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan dibatasi hanya empat istri, (2) syarat beristri lebih dari satu adalah suami memperlakukan istri dan anak-anaknya secara setara. Jawabannya iya. , larangan laki-laki memiliki lebih dari satu wanita tidak terpenuhi.
Empat.   Kedewasaan usia pasangan (kematangan jiwa dan raga). Pasal 6, 7 UUUP menyatakan bahwa usia tidak kurang dari 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Pasal 15 menyatakan bahwa untuk kepentingan keluarga dan keluarga, hanya kedua mempelai yang telah mencapai umur yang ditentukan dalam pasal 7 ayat 1 tahun 1974 yang dapat menikah.
5.   Perceraian itu sulit. Pasal 38, 39 dan 40. Pasal 38 menetapkan bahwa perkawinan dapat berakhir dengan kematian, perceraian, dan hukuman pengadilan. Pasal 116 KHI menyatakan bahwa perceraian terjadi karena salah satu pihak melakukan perbuatan yang tidak manusiawi dan salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun tanpa izin dan tanpa alasan yang jelas dan salah satu pihak dipidana dengan pidana penjara 5 tahun. .penjara. sementara salah satu pihak menyalahgunakan yang lain, salah satu pihak memiliki cacat atau penyakit dan ada perselisihan terus-menerus antara keduanya, dogma atau ditinggalkan, yang menyebabkan perselisihan dalam pekerjaan rumah tangga.
Sehingga dapat dipahami bahwa antara KHI dan UU no. 1 Tahun 1974 memiliki tujuan yang sama untuk membangun suatu bentuk keluarga yang sekaligus damai, cinta dan kasih sayang dan sesuatu yang memiliki nilai-nilai sakral dalam kehidupan. Perbedaannya terutama terletak pada penerapan dan penerapan hukum menurut bentuk dan modelnya masing-masing, karena kedua hukum itu terbentuk tergantung pada situasi dan masyarakat serta terus berkembang dan berubah. Artinya kedudukan KHI adalah untuk umat Islam, sedangkan Hukum tidak. 1 Tahun 1974 bagi setiap warga negara Indonesia.
kesimpulan
Dari pernyataan tersebut dapat diturunkan suatu common denominator, yang menurutnya pembentukan hukum berkaitan dengan sumber hukum, bentuk hukumnya. Ini mengembangkan prosedur pelatihan hukum dan peran hakim sebagai salah satu unsur penyusun hukum yang dikodifikasi, karena pelatihan hukum harus didasarkan pada satu kesatuan sumber hukum, Pancasila dan UUD 1945.
Demikian pula pembentukan hukum harus didasarkan pada nilai-nilai yang didasarkan pada keadilan dan kebenaran, nilai-nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat dan nilai-nilai yang sesuai dengan hukum yang berlaku. . . dan peraturan.
Oleh karena itu, ketika merancang undang-undang, perhatian harus diberikan pada pluralitas sistem hukum saat ini. Sedangkan hukum Islam merupakan salah satu sistem hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, Islam menempati posisi sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku di masyarakat dan juga menjadi bahan baku pembentukan hukum nasional.
Oleh karena itu, menjadikan KHI sebagai hukum positif berbentuk undang-undang secara tidak langsung merupakan langkah strategis untuk mendekatkan hukum positif dengan norma hukum yang berlaku di masyarakat dan untuk mengisi kekosongan hukum substantif bagi umat Islam yang ingin menyelesaikan masalah di pengadilan. Ini tidak berarti bahwa umat Islam harus menyangkal keberadaan hukum buatan manusia, meskipun peraturan perkawinan sudah ada dalam HIC sebagaimana disebutkan dalam Buku I KHI, mereka harus selalu menyadari keberadaan hukum. Nomor (1) Tahun 1974 yang mengatur tentang Perkawinan, sejak Kerajaan Investasi Hotel didirikan berdasarkan ketentuan Undang-undang No. (1) dari tahun 1974.

Komentar

Postingan populer dari blog ini